Sabtu, 19 Mei 2018

MODEL-MODEL INSERVICE PENDIDIKAN GURU dalam PENGEMBANGAN KOMPETENSI MENUJU PROFESIONALISME

Pendidikan "In-service Education" (pendidikan dalam-jabatan) atau latihan-latihan semasa berdinas, dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan secara kontinu pengetahuan, ketrampilanketrampilan dan sikap-sikap para guru dan tenaga-tenaga kependidikan lainnya guna mengefektifkan dan mengefisiensikan pekerjaan/jabatannya. Program pendidikan atau latihan tersebut dapat diselenggarakan secara formal oleh Pemerintah, berupa penataran-penataran atau lokakarya-lokakarya baik sscara lisan atau tertulis, dapat pula diselenggarakan sscara informal oleh yang berkepentingan baik secara individual, maupun secara berkelompok.
Lembaga sekolah / institusi pendidikan dapat mendorong dan merencanakan program "In service" ini secara kooperatif dengan mengikutsertakan mereka yang berkepentingan atau melalui wakilwakilnya yang representatif.
A.  MODEL PENDIDIKAN INSERVICE DAN UPGRADING PROFESIONAL GURU
Dalam pengembangan kemampuan profesional melalui kegiatan in-service (penataran atau pelatihan) terkesan bahwa selama ini pelaksanaannya kurang sistematis karena sasarannya kurang jelas. Sedikit sekali program in-service dilaksanakan atas dasar kebutuhan guru secara riil. Kebanyakan program in-service dilaksanakan karena programnya telah dirancang oleh lembaga penyelenggara, sehingga lulusannya kurang memperoleh manfaat yang optimal terhadap pelaksanaan tugasnya dan tidak mendukung keahlian baru.
Menurut Peter F. Oliva yang dikutip oleh Syaiful Sagala mengemukakan sasaran domain supervisi adalah hubungan pengembangan staf dengan in-service education yang dibagi dalam dua kategori yaitu staffing yang terdiri dari kegiatan (selecting, assigning, evaluating, reticing dan dismissing staf), dan training.
Seorang guru pada dasarnya sudah dipersiapkan melalui lembaga pendidikan guru sebelum terjun kedalam jabatannya. Pendidikan persiapan itu disebut pre-service education. Diantara mereka banyak yang sudah cukup lama meninggalkan pre-service educationdan bertugas dilingkungan yang tidak memungkinkan untuk mengikuti berbagai perkembangan dan kemajuan. Untuk mengejar ketinggalan itu agar guru selalu up to date dalam menjalankan tugas-tugasnya diperlukan inservice-training secara terarah dan berencana. Penyusunan program inservice-training dan berusaha mewujudkannya merupakan bagian dari kegiatan supervisi.
Program inservice-training dapat melingkupi berbagai kegiatan seperti mengadakan kursus, aplikasi, ceramah-ceramah, workshop, seminar-seminar, mempelajari kurikulum, survai masyarakat, demonstrasi-demonstrasi mengajar menurut metode-metode baru, fieldtrip, kunjungan-kunjungan ke sekolah-sekolah diluar daerah, dan persiapan-persiapan khusus untuk tugas-tugas baru.
Sergiovanni dan Satrat yang dikutip oleh Syaiful Sagala membedakan pengembangan staf dengan in-service education yaitu
a.    Pengembangan staf bukan untuk guru di sekolah tetapi guru sebagai pribadi laki-laki maupun perempuan, sedangkan in-service education menangani kekurangan yang khas pada guru;
b.    Pengembangan staf bukan berorientasi pada pertumbuhan, sedangkan in-service education mensyaratkan sejumlah ide, keterampilan dan metode pengembangan yang tepat (fokusnya terletak pada ide-ide. ketrampilan, dan metode);
c.    Pengembangan staf tidak menangani kekurangan guru yang khas tetapi untuk kebutuhan masyarakat baik untuk pertumbuhan kerja maupun pengembangan jabatan, sedangkan in-service education sebagai tempat latihan kerja guru-guru untuk mereduksi alternatif yang benar-benar cocok untuknya; dan
d.   Pengembangan staf tempat latihan kerja tambahan, sedangkan inservice
education boleh memilih program pengayaan atau remedial.
Training atau pelatihan sebagai program in-service education menurut Oliva dalam Syaiful Sagala, ada dua fase yaitu :
a.    Training yang terdiri dari perencanaan, implementasi, evaluasi; dan
b.    Post training yang terdiri dari aplikasi evaluasi.
Upgrading (penataran) sebenarnya tidak berbeda jauh dengan inservice-training. Upgrading ialah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan untuk meninggikan atau meningkatkan taraf ilmu pengetahuan dan kecakapan para pegawai, guru-guru, atau petugas pendidikan lainnya, sehingga dengan demikian keahliannya bertambah luas dan mendalam.
Perbedaannya yang agak jelas antara inservice training dan upgrading ialah, Upgrading lebih memilki cifil-efect pada pekerjaan atau jabatan pegawai yang di upgrade. Umpamanya: dapat menjadikan pegawai yang tidak berwenang menjadi berwenang, berlaku untuk kenaikan tingkat atau jabatan, dan mempertinggi pengetahuan dan keahlian.
Contoh upgrading yang biasa berlaku di kalangan guru-guru dan petugas-petugas lainnya antara lain : memberi kesempatan kepada guru-guru SD yang berijazah SGB atau yang sederajat untuk mengikuti SGA/SPG; memberi kesempatan atau tugas belajar kepada guru-guru SLP yang berijazah SGA/SPG atau yang sederajat untuk mengikuti kursus PGSLP atau mengikuti kuliah di IKIP  sehingga menjadi guru yang berwenang mengajar di SLP; memberi kesempatan atau tugas belajar kepada guru-guru SLA yang berijazah BI/sarjana muda, untuk mengikuti kuliah guna mencapai tingkat sarjana; memberi kesempatan kepada pegawai administrasi (tata usaha) yang memilki ijazah SLP untuk mengikuti KPAA (Kursus Pegawai administrasi Tingkat Atas), dan sebagainya.
B. PERLUNYA INSERVICE-TRAINING DAN UPGRADING DALAM PENDIDIKAN
Sebab-sebab perlunya inservice-training, disamping pendidikan persiapan (pre-service training) yang kurang mencukupi, juga banyak guru yang banyak guru yang telah keluar dari sekolah guru tidak pernah atau tidak dapat menambah pengetahuan mereka sehingga menyebabkan cara kerja mereka yang tidak berubah-ubah, itu-itu saja dan begitu-begitu saja tiap tahun selama belasan tahun mereka bekerja. Mereka tidak mengetahui dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dan negara.
Sebab yang pertama mengenai perlunya inservice-training atau Upgrading ialah suatu kenyataan bahwa karena kebutuhan yang sangat mendesak, pemerintah mengangkat guru-guru yang tidak dipersiapkan untuk menjadi guru sebelumnya, baik sebagai guru SD maupun sebagai guru SLP atau SLA. Bagi mereka ini inservice-training atau Upgrading mutlak diperlukan.
Sebab yang kedua ialah adanya program dan kurikulum sekolah yang harus selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat dan kebudayaan. Untuk dapat mengimbangi perkembangan itu, pengetahuan dan cara bekerja guru-guru harus berkembang pula.
KESIMPULAN
1.    Pendidikan "In-service Education" (pendidikan dalam-jabatan) atau latihan-latihan semasa berdinas, dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan secara kontinu pengetahuan, ketrampilanketrampilan dan sikap-sikap para guru dan tenaga-tenaga kependidikan lainnya guna mengefektifkan dan mengefisiensikan pekerjaan/jabatannya.
2.    Upgrading ialah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan untuk meninggikan atau meningkatkan taraf ilmu pengetahuan dan kecakapan para pegawai, guru-guru, atau petugas pendidikan lainnya, sehingga dengan demikian keahliannya bertambah luas dan mendalam.
3.    Perbedaannya yang agak jelas antara inservice training dan upgrading ialah, Upgrading lebih memilki cifil-efect pada pekerjaan atau jabatan pegawai yang di upgrade. 
4.    Sebab-sebab perlunya inservice-training, disamping pendidikan persiapan ( preservice training) yang kurang mencukupi, juga banyak guru yang telah keluar dari sekolah guru tidak pernah atau tidak dapat menambah pengetahuan mereka sehingga menyebabkan cara kerja mereka tidak berubah-ubah, itu-itu saja dan begitu-begitu saja
SARAN
Seseorang akan bekerja secara profesional bilamana memiliki kemampuan kerja yang tinggi, kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya. Jadi, betapa pun tingginya kemampuan seseorang ia tidak akan bekerja secara profesional apabila tidak memiliki motivasi yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Sikap profesional seseorang tidak didapatkan dari inservice-training, upgrading dalam pendidikan dan pre-service pendidikan tapi sikap profesional didapatkan dari dalam diri kita sendiri bagaimana kita mencintai profesi kita dan bagaimana kita memotivasi diri kita.
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.stainkudus.ac.id/460/5/5.%20BAB%20II.pdf

Model-Model Pre-Service Pendidikan Guru


Perbaikan situasi pendidikan dan pengajaran pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar pada khususnya sebagai sasaran utama supervisi pendidikan tidak akan terwujud dengan baik, apabila guru-guru sebagai pengemban yang langsung tidak mengalami pertumbuhan atau perkembangan dalam bidang keahlian atau profesinya.
Pendidikan pra-jabatan atau pre-service education merupakan fase mempersiapkan tenaga-tenaga kependidikan untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, dan sikap-sikap yang dibutuhkan sebelum bertugas/berdinas.
A.     KONSEP PRE-SERVICE PENDIDIKAN GURU
Loretta dan Stein yang dikutip oleh Syaiful Sagala mengemukakan kategori pendidikan profesional pre service teacher education adalah.
a.    Suatu studi yang diwajibkan untuk menjadi guru, yang secara historis terbentuk dari sejumlah mata pelajaran yang diambil pada perguruan tinggi dengan memberikan pengalaman lapangan supervisi yang didisain untuk menerima tamatan SLTA memasuki profesi mengajar;
b.    Penataran guru untuk memenuhi kebutuhan pejabat (employer) dan pegawai (employee) dalam daerah tertentu;
c.    Continuing education suatu program pelajaran berkelanjutan yang ditentukan secara individual atau mata pelajaran yang dipilih untuk memenuhi minat atau kebutuhan menuju pencapaian tujuan spesifik atau gelar; dan
d.   Pengembangan kedudukan sataf (staf development) suatu program pengalaman didisain untuk memperbaiki kedudukan seluruh anggota staf secara pribadi maupun kelompok.
Universitas yang menyediakan program ini berkenaan dengan kurikulum pendidikan guru dan kemitraan dengan sekolah dengan membekali mahasiswa calon guru dengan pengetahuan dan keterampilan formal kependidikan dan pengetahuan tentang sekolah.
Maister dalam Abdul Syukur mengemukakan bahwa profesionalisme guru bukan sekedar pengetahuan teknologi dan manjemen tetapai lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seprang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik yaitu tingkat pendidikan formal yang telah dicapai sampai dengan guru mengikuti sertifikasi, baik pendidikan gelar (S1, S2, atau S3) maupun nongelar (D4 atau Post Graduate diploma), baik di dalam maupun di luar negeri. Bukti fisik yang terkait dengan komponen ini dapat berupa ijazah atau sertifikat diploma.
Tenaga kependidikan dapat diangkat dari berbagai latar belakang disiplin ilmu. Sebelumnya diangkat menjadi guru, mereka harus mendapat pendidikan, latihan, dan bimbingan tentang pengetahuan keguruan, atau mendapat ijasah akta IV dari perguruan tinggi yang telah terakreditasi.
B.     PROGRAM PENDIDIKAN PRE-SERVICE
Tenaga pendidik disiapkan melalui pre service teacher education dengan strategi pelaksanaan dan pengembangan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) seperti (IKIP, FKIP, FIP, STKIP, dan FTIK) yang menghasilkan tenaga kependidikan dan guru. Untuk menyediakan guru yang dibutuhkan, maka LPTK mampu menangani program dan melakukan inovasi dengan menanamkan pemahaman yang mendalam tentang kurikulum pada calon guru dengan melakukan evaluasi pada tiap periode yang telah ditentukan untuk menjamin kesinambungan pengembangan staf. Kebutuhan pasar pendidikan dewasa ini telah beragam. Hal ini ditandai munculnya berbagai program dan model pendidikan yang dibutuhkan masyarakat.
Proses pendidikan guru ini dapat berlangsung di dalam kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler dan pada kehidupan luar kelas. Lawrence Downey dalam Oemar Hamalik menyatakan bahwa proses pendidikan mengandung tiga dimensi :
a.    Dimensi substantif mengenai bahan apa yang akan diajarkan.
b.    Dimensi tingkah laku guru tentang bagaimana guru mengajar. Jadi, bertalian dengan kemampuan guru dan metode mengajar.
c.    Dimensi lingkungan fisik, sarana, dan prasarana pendidikan
Dalam pendidikan prajabatan, sebelum menjadi guru, seseorang akan dididik dalam berbagai pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang diperlukan dalam pekerjaannya nanti. Karena tugasnya yang bersifat unik, guru selalu menjadi panutan bagi siswanya, dan bahkan bagi masyarakat sekelilingnya.
Proses pendidikan tidak muncul begitu saja, tetapi harus dibina sejak calon guru memulai pendidikannya di lembaga pendidikan guru. Berbagai usaha dan latihan, contoh-contoh dan aplikasi penerapan ilmu, ketrampilan dan bahkan sikap professional dirancang dan dilaksanakan selama calon guru berada dalam pendidikan prajabatan.
Kualifikasi akademik guru ini dapat diperoleh melalui program pendidikan formal sarjana (S1) atau Diploma Empat (D-IV) pada perguruan tinggi yang terakreditasi. Untuk guru yang telah ada (guru dalam jabatan) kualifikasi akademik ini dapat dipenuhi melalui pendidikan formal sarjana (S1) atau Diploma empat (D-IV) pada perguruan tinggi yang terakreditasi yang dapat mengakui hasil pembelajaran yang telah diakuinya, termasuk pelatihan guru dengan memperhitungkan ekuivalensi satuan kredit semesternya dan atau prestasi akademik yang diakui dan diperhitungkan ekuivalensi sks-nya oleh perguruan tinggi dimana guru tersebut memperoleh pendidikan.
C.     ANALISIS (Dikaitkan Dengan Konteks Indonesia)
Latar belakang pendidikan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu kesesuaian antara bidang ilmu yang ditempuh dengan bidang tugas dan jenjang pendidikan. Untuk profesi guru sebaiknya juga berasal dari lembaga pendidikan guru. Guru pemula dengan latar pendidikan keguruan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah, karena dia sudah dibekali dengan seperangkat teori sebagai pendukung pengabdiannya, sedangkan guru yang bukan berlatar pendidikan keguruan akan banyak menemukan banyak masalah dalam pembelajaran.
Jenis pekerjaan yang berkualifikasi profesional memiliki ciri-ciri tertentu, diantaranya memerlukan persiapan/ pendidikan khusus bagi calon pelakunya, yaitu membutuhkan pendidikan prajabatan yang relevan.
PP No. 19 Tahun 2005, pasal 28 ayat 1 mengarisbawahi bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya dalam pasal 29 dipertegaskan kualifikasi guru untuk jenjang SMPMTs.
Pendidik pada SMP/ MTS, atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a.    Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1),
b.    Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperleh dari program studi yang terakreditasi,
c.     Sertifikasi profesi guru untuk SMP/ MTs.
Program pre service teacher education yang dilakukan oleh LPTK seperti Universitas Negeri Semarang, STAIN Kudus, Universitas Negeri Malang, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas lain yang mempunyai visi dan misi yang sama yaitu kependidikan menyediakan tenaga pendidik pada berbagai bidang ilmu seperti Ilmu Pendidikan, Bahasa, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu Teknik, Ilmu Ekonomi, Ilmu Keolahragaan, Ilmu Agama Islam dan sebagainya dengan standar pembelajaran yang tinggi. Mahasiswa dibekali materi penngetahuan sesuai bidang peminatannya, kemampuan menyusun dan mengembangkan kurikulum, kemampuan menyusun dan mengembangkan rencana pelaksanaan.
Upaya pemerintah untuk terus mengembangkan profesi pendidik sebagai profesi yang kuat dan dihormati sejajar dengan profesi lainnya terlihat dari lahirnya UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang berusaha mengembangkan profesi pendidik melalui perlindungan hukum. Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi, dan pembentukan PKG (Pusat Kegiatan Guru, MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), maupun KKG (Kelompok Kerja Guru). Hal yang penting dan perlu dilakukan pemerintah adalah membangun kemandirian di kalangan guru. Kemandirian tersebut akan menumbuhkan sikap profesional dan inovatif pada guru dalam melaksanakan peran dan
tugasnya mendidik masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik dan berkualitas.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah, melalui UU No. 14 Tahun 2005 pasal 7 mengamanatkan bahwa pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. Disamping itu menurut pasal 20, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Kualitas guru di Indonesia dari beberapa kajian masih dipertanyakan, seperti yang dilaporkan oleh Bahrul Hayat dan Umar dalam Adiningsih (2002). Mereka memperlihatkan nilai rata-rata nasional tes calon guru PNS di SD, SLTP, SLTA, dan SMK tahun 1998/1999 untuk bidang studi matematika hanya 27,67 dari interval 0-100, artinya hanya menguasai 27,67% dari materi yang seharusnya. Hal serupa juga terjadi pada bidang studi yang lain, seperti fisika (27,35), biologi (44,96), kimia (43,55), dan bahasa Inggris (37,57). Nilai-nilai di atas tentu jauh dari batas ideal, yaitu minimum 75% sehingga seorang guru bisa mengajar dengan baik. Hasil lain yang lebih memprihatinkan adalah penelitian dari Konsorsium Ilmu Pendidikan (2000) memperlihatkan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya. Paparan ini menggambarkan sekilas kualitas guru di Indonesia. Bagaimana dapat dikatakan profesional jika penguasaan materi mata pelajaran yang diampu masih kurang, dan bagaimana dikatakan profesional jika masih ada 33% guru yang mengajar di luar bidang keahliannya. Seperti yang diungkap oleh Geist (2002) bahwa Professionals are specialists and experts inside their fields; their expertise is not intended to be necessarily transferable to other areas, consequently they claim no especial wisdom or sagacity outside their specialties.
KESIMPULAN
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat besar dalam peningkatan SDM yang bermutu, karena pendidikan memiliki tanggung jawab besar  dalam kerangka membangun, membina dan mengembangkan kualitas manusia indonesia yang dijalanka secara terstruktur, sistematis dan terprogram serta berkelanjutan. Untuk menghasilkan SDM yang bermutu  dan berwawasan teknologi pendidikan diperlukan  profesionalisme Tenaga pendidik dalam mengembangkan dan memanfaatkan teknologi pendidikan dalam dunia pendidikan.
          Tenaga pendidik yang profesional dapat diartikan sebagai kometmen para tenaga pendidik untuk meningkatkan profesionalismenya dan terus-menerus mengembangkan strategi-strategi  yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu. Profesionalisme pendidik dapat dicapai dengan memperdalam bidang keilmuan (kognitif) melalui pendidikan pasca sarjana, pendidikan dan latihan jangka pendek;meningkatka kemampuan psikomotorik dan afektif melalui pelatihan, lokakarya, seminar, diskusi, pelaksanaan akademik dan mimbar akademik.
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.stainkudus.ac.id/460/5/5.%20BAB%20II.pdf